Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional AUD
A.
Standar
Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Berdasarkan permendikbud Nomor 137 tahun
2014, menjelaskan tentang standar nasional pendidikan anak usia dini (PAUD)
yang mencakup Standar Tingkat Pencapaian
Perkembangan Anak usia dini atau biasa disebut STPPA adalah kriteria
tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh aspek perkembangan dan
pertumbuhan yang mencakup aspek fisik-motorik, kognitif, bahasa,
sosial-emosional, nilai agama dan moral, serta seni.[1]
Berikut ini standar tingkat pencapaian
perkembangan sosial emosional pada anak usia dini pada umur 2-4 tahun.[2]
1. Usia
2-3 tahun
Pada usia 2-3
tahun dibagi menjadi 3 komponen, yaitu:
a. Kesadaran
Diri
Pada
komponen kesadaran diri, terdiri dari beberapa ciri, yakni:
1) Memberi
salam setiap mau pergi
2) Memberi
reaksi percaya pada orang dewasa
3) Menyatakan
perasaan terhadap anak lain
4) Berbagi
peran dalam suatu permainan, misalnya menjadi dokter, perawat, maupun pasien.
b. Tanggung
Jawab Diri dan Orang Lain
Pada
komponen Tanggung Jawab Diri dan Orang Lain, terdiri dari beberapa ciri, yakni:
1) Anak
mulai bisa mengungkapkan ketika ingin buang air kecil dan buang air besar
2) Anak
mulai bisa memahami hak orang lain, misalnya harus antre maupun menunggu
giliran
3) Anak
mulai bisa menunjukan sikap berbagi, membantu, dan bekerja sama
c. Perilaku
Prososial
Pada
komponen perilaku prososial, terdiri dari beberapa ciri, yakni:
1) Anak
mulai bisa bermain secara kooperatif dalam kelompok
2) Anak
mulai bisa peduli dengan orang lain
3) Anak
mulai bisa membagi pengalaman kepada orang lain
2. Usia
3-4 tahun
Pada usia 3-4
tahun dibagi menjadi 3 komponen, yaitu:
a. Kesadaran
Diri
Pada komponen
kesadaran diri, terdiri dari beberapa ciri, yakni:
1) Anak
mulai bisa mengikuti aktivitas dalam kegiatan besar, misalnya piknik.
2) Anak
mulai bisa meniru apa yang dilakukan orang dewasa, misalnya suka menolong dan member
3) Anak
mulai bisa mengatakan perasaan secara verbal
b. Tanggung
Jawab Diri dan Orang Lain
Pada
komponen Tanggung Jawab Diri dan Orang Lain, terdiri dari beberapa ciri, yakni:
1) Anak
mulai bisa melakukan buang air kecil dan buang air besar tanpa bantuan
2) Anak
mulai bisa menunjukan sikap toleran sehingga dapat bekerja sama dalam kelompok
3) Anak
mulai bisa menghargai orang lain
4) Anak
mulai bisa menunjukkan ekspresi menyesal ketika melakukan kesalahan
c. Perilaku
Prososial
Pada
komponen perilaku prososial, terdiri dari beberapa ciri, yakni:
1) Anak
mulai bisa membangun kerjasama
2) Anak
mulai bisa memahami adanya perbedaan perasaan
3) Anak
mulai bisa meminjam dan meminjamkan mainan
Dari beberapa contoh standar tingkat
pencapaian perkembangan sosial dan emosional diatas, tidaklah mudah bagi
seorang pendidik dalam menilainya, karena harus dilakukan secara konsisten dan
berkelanjutan.Usia 2-3 tahun adalah masa perkembangan anak yang paling kritis,
jika salah dalam mengambil langkah, maka tahap selanjutnya akan mengalami hambatan-hambatan.
Misalnya konsep tentang mulai berbagi dan main bekerjasama, pada usia 2-3 tahun
anak-anak masih banyak menggunakan sensori motor dalam segala hal seperti
melompat, melempar, marah, menangis, dan lain-lain. Sehingga harus benar-benar
hati-hati dalam bertutur kata dalam membimbing anak. Sifat anak yang masih ke
“aku an” juga masih muncul sehingga untuk menuju tahap main bekerjasama butuh
proses yang tidak sedikit dan harus dilakukan secara terus menerus
(berkesinambungan).
Adapun upaya ataupun cara yang dapat
dilakukan oleh seorang guru untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan
adalah:[3]
1. Biasakan
anak untuk tidak membawa mainan dari rumah, karena dapat menimbulkan anak sulit
berbagi karena mainan itu adalah milik pribadinya
2. Biasakan
anak untuk melakukan permainan yang bisa meningkatkan interaksi diantara
teman-temannya
3. Biasakan
anak untuk bersikap sabar dan menghargai orang lain seperti ghalnya ajarkan
anak untuk antre menunggu giliran
4. Biasakan
anak untuk bersalaman kepada guru maupun pendidik di sekolah agar tumbuh rasa
nyaman anak terhadap guru yang ada di sekolah tersebut.
Berikut ini uraian
lebih lengkapnya mengenai tingkat pencapaian
perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dari umur 0 bulan sampai 6
tahun yaitu:
Usia
|
Perkembangan sosial-emosiaonal
|
|
|
0-3 bulan
|
-Menatap dan tersenyum
-Menangis untuk mengekspresikan ketidaknyamanan
|
3-6 bulan
|
-Merespon dengan gerakan tangan dan kaki
-Menangis jika tidak mendapatkan yang diinginkan
|
6-9 bulan
|
-Mengulurkan tangan atau menolak untuk diangkat
(digendong)
-Menunjuk kepada sesuatu yang diinginkan
|
9-12 bulan
|
-Menempelkan kepala bila merasa nyaman dalam
pelukan (gendongan) atau meronta kalau merasa tidak nyaman
-Menyatakan keinginan dengan berbagai gerkana
tubuh dan ungkapan kata-kata sederhana
-Meniru cara menyatakan perasaan saying dengan
memeluk
|
12-18 bulan
|
-Menunjukan reaksi marah jika permainnya diambil
-Menunjukkan reaksi yang berbeda terhadapa orang
yang baru dikenal
-Bermain bersama teman tetapi sibuk dengan mainnya
sendiri (solitary play)
-Memperhatikan/mengamati teman-temannya beraktivitas
|
18-24 bulan
|
-Mengekspresikan berbagai reaksi emosi (senang, marah,
takut, dan kecewa)
-Menunjukkan reaksi menerima atau menolak kehadiran
orang lain
-Bermain bersama teman dengan mainan yang sama
-Berekspresi dalam bermain peran (pura-pura
|
2-3 tahun
|
-Memahami hak orang lain (harus antri, menunggu
giliran)
-Menunjukan sikap berbagi, membantu, dan bekerja
sama
-Menyatakan perasaan terhadap anak lain (suka
dengan teman karena baik, tidak suka dengan teman karena nakal dan lainnya)
-Berbagi peran dalanm suatu permainan (menjadi
dokter, perawat, pasien, menjadi penjaga toko atau pembeli
|
3-4 tahun
|
-Bersabar menunggu antrian -Bereaksi terhadap
hal-hal yang dianggap tidak benar (marah jika diganggu atau diperlakukan
berbeda)
-Menunjukan reajsi menyesal saat melakukan
kesalahan
-Menunjukkan sikap toleran sehingga dapat bekerja
dengan kelompok
|
4-5 tahun
|
-Mampu berbagi, menolong, dan membantu teman
-Antusias dalam melakukan perlombaan
-Mengendalikan Reaksi dan menahan perasaan atau bisa
disebut dengan (sakit tetapi tidak menangis, marah tetapi tidak memukul)
-Mentaati aturan yang berlaku dalam suatu
permainan
|
5-6 tahun
|
-Bersikap kooperatif dengan teman
-Menunjukkan sikap toleran
-Mengekspresikan emosi dalam berbagai situasi
(senang. Gembira. Antusias, dan sebagainya
-Memahami peraturan disiplin
-Mengenal tata karma dan sopan santun sesuai
dengan nilai sosial dan budaya setempat
|
B.
Peran
Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Keluarga
merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan
menyatakan diri sebagai manusia didalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.
Semua yang telah diuraikan dalam interaksi kelompok berlaku pula bagi interaksi
kelompok keluarga, termasuk pembentukan norma-norma sosial, internalisasi dari
pada norma-norma, terbentuknya fram of reference.Sense of belongingness dan
lain-lainnya.
Di
dalam keluarga, manusia pertama-tama belajar bekerja sama, bantu membantu, dan
lain-lain. Pengalaman interaksi sosial di dalam keluarga, turut menentukan pula
cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain.
Apabila interaksi sosialnya didalam keluarga
tidak lancar, maka besar kemungkinan interaksi sosialnya dengan masyarakat juga
berlangsung dengan tidak lancar.Jadi selain kelurga itu berperan sebagai tempat
manusia berkembang sebagai manusia sosial, terdapat pula peranan-peranan
tertentu didalam keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan individu sebagai
makhluk sosial.[4]
Menurut Kartini Kartono, orang tua
adalah pria dan wanita yang terikat dalam pernikahan yang siap untuk memikul
tanggung jawab sebagai ayah dan ibu untuk anak-anaknya. Menurut Thamrin
Nasution, orang tua adalah orang yang memiliki tanggung jawab dalam sebuah
keluarga yang sering disebut ibu atupun bapak. Adapun ahli psikologi lainnya
yaitu Ny. Singgih D. Gunarsa yang menyebutkan orang tua adalah dua orang
individu yang meiliki perbedaan untuk hidupbersama dengan membawa pendapat,
kebiasaan, dan pandangan dalam kebiasaan sehari-hari.
Peran orang tua dalam perkembangan
sosial dan emosional memegang kedudukan yang sangat penting, karena orang tua
adalah model bagi anak. Fase
anak adalah fase dimana seorang anak suka meniru. Dan yang paling sering ditiru
adalah orang tuanya dikarenakan orang tua adalah mitra terdekat bagi anak.
Dengan begitu, hendaknya para orang tua
harus bisa mengajarkan bagaimana menggendalikan emosi. Bukan hanya mengajarkan,
tapi mempraktekannya sendiri dalam kehidupan sehari-hari supaya anak dapat
mengetahui cara mengendalikan emosi lewat orang terdekat yaitu orang tua. Orang
tua juga bisa belajar bagaimana mengetahui perkembangan sosial dan emosional
anak melalui program parenting yang ada di sekolah anaknya masing-masing.[5]
Peran orang tua terhadap perkembangan
sosial dan emosional anak secara tidak langsung memberi kesan yang sangat
positif terhadap perkembangan anak usia dini.[6]
Setiap pengalaman yang dilalui anak
melalui orang tua yang didapat dari penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan
orang tua akan mempengaruhi pribadi anak itu sendiri. Untuk itu, hindari
memojokkan anak jika anak melakukan kesalahan.Orang tua juga harus bisa
memahami dan menghargai perasaan anak. Dan jika ingin memenuhi keinginan anak,
sebisa mungkin orang tua memberikan persyaratan untuk memacu anak agar mau
berusaha, menunda keinginan anak, namun bukan menghalangi keinginan anak,
tetapi lebih memahamkan anak terhadap apa yang harus diprioritaskan dan apa
yang memang benar-benar dibutuhkan.
Biasakan untuk sering mengajak anak
berdialog berasma dalam upaya menyelesaikan masalah seraya memahamkan anak apa
kerugian untuk emosi dan marah yang berlebihan. Di samping itu, orang tua juga
harus bisa menjadi teladan bagi anak untuk bisa mengolah emosi apabila mengalami
perasaan yang tidak mengenakkan. Jangan luapkan emosi di depan anak, karena itu
juga akan membuat anak terganggu psikologisnya dan rentan untuk meniru
perbuatan tersebut.
Orang tua juga hendaknya mengajarkan
anak untuk menjadi pendengar yang baik, sehingga akan tumbuh rasa memahami dan
menghargai perasaan orang lain. Rasa empati juga wajib diajarkan kepada anak,
yang adapat bermanfaat untuk dapat melihat orang lain dalam berbagai macam
keadaan. Memlihara binatang kesayangan merupakan contoh yang dapat memotivasi
anak untuk menyayangi sesame mahluk ciptaan tuhan.
Anak yang memiliki kecerdasan emosi
dapat menjadi mudah dalam melangkah sukses, karena akan mudah diterima oleh
banyak orang maupun masyarakat sekitar karena mampu mengelola emosi dengan baik
dan bermanfaat untuk orang lain.
Untuk membentuk dan meningkatkan
kecerdasan emosi apada anak orang tua harus mampu membentuk pribadi anak dengan
cara melakukan hal-hal yang baik dan positif, misalnya mengajarkan anak untuk
jujur, dapat mengendalikan amarah, membentuk rasa percaya diri, mengajarkan
anak untuk mendejadi pendengar yang aktif, membentuk jiwa anak yang memiliki
rasa simpati dan empati.
Dikemudian hari laju perkembangan sosial
ini tampaknya semakin menggembirakan anak mulai memahami kepada siapa ia harus
menaruh simpati dan mengetahui bagaimana ia menumbuhkan rasa simpati kepada
orang lain.[7]
Saat anak menginjak masa dewasa, aka
nada saatnya anak akan berinteraksi dengan lebih banyak orang, untuk itu rasa
peduli dan kerjasama perlu ditanamkan sejak sedini mungkin untuk membentuk
pribadi yang mampu bersosialisasi dengan orang lain.
anak yang memiliki bekal cukup baik
dalam upaya pengelolaan emosional juga akan membuat anak terhindar dari badai
stress dan mengurangi perasan sensitivisme dan akan membuat anak berpikir
realistis dan positif.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa,
perkembangan sel otak yang sangat berkembang sangat pesat terjadi pada masa
balita, sehingga masa ini sering disebut masa keemasan (Golden Ege).Untuk itu,
orang tua maupun pendidik perlu memberikan Stimulus aktivitas kegiatan yang
dapat merangsang otak dan memberikn nutrisi otak sehingga dapat berkembang
dengan pesat.
Dalam mendorong kecerdasaan anak orang
tua sangat berperan penting dalam memberikan stimulus.Karena diusia balita
banyak menghabiskan waktu dilingkungan rumahnya, maka dari itu orang tua harus
lebih kreatif memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada dilingkungan rumahnya
untuk menstimulus anakna.
Menurut Conny Semiawan dkk, bahwa “Orang
tua perlu membina anaknya gara mau berprestasi secara optimal, karena kalau
tidak berarti suatu penyia-nyian terhadap bakat anaknya.Pembinaan dilakukan
dengan mendorong anak untuk mencapai prestasi yang sesuai dengan kemampuannya”. Ada kasus banyak yang telah mengidentifikasikan
bahwa orang tua tidak terlalu paham
terhadap bakat dan kemampuan anak, sebagai imbasnya potensi yang ada pada anak
tersebut tidak dapat berkembangan dengan optimal.
Dalam kaitannya dengan mengembangkan
kecerdasaan emosional anak, peran orang tua sangat penting, orang tua bertahap
daalam membimbing mengarahkan anak yang tempramen. Agar anak mampu mengontrol
emosinya dan menjaga agar tidakanya tidak dikendalikan emosi semata, anak harus
diajarkan memahami apa yang diharapkan dirinya serta dilatih untuk memahami
orang lain. Perlu diberi pemahaman bahwa segala tindakannya akan membawa
konsekuensi baik pada dirinya maupun orang lain. Makin sering anak berlatih mengendalikan
emosinya, seperti meredakan marah atau kecewa, maka semakin terlatih ia dalam
mengendalikan emosinya.
Menurut Dulewicz dan Higgs, kecerdasan
Emosional bukanlah sesuatu yang dimiliki seorang anak secara genetik
(Bawaan).Akan tetapi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mengembangkan nya
secara sehat agar masa-masa yang akan datang lahir generasi yang lebih baik
dari pada generasi sekarang. Penyair Khalil Gibran mengibaratkan seorang anak
“seperti anak panah yang telah lepas dari busurnya dan dia adalah milik sang
hidup itu sendiri”. tidak diartikan secara Harafiah bahwa anak setelah lahir
dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, didalam kelepasannya itu tetap ada peran
orang tua untuk mendidik dan mengarahkan, apabila dikaitkan dengan realitas
bahwa anak dalam kesehariannya terus melakukan interaksi dengan kedua orang
tuanya[8].
Ketika anak-anak merasa akrab secara
emosional dengan orang tua mereka dan orang tua mereka memanfaatkan ikatan ini
untuk menolong anak-anak mengatur perasaan-perasaan mereka dan menyelesaikan
masalah-masalah, maka terjadilah hal-hal yang baik.[9]
Peran Orang Tua Terhadap Perkembangan
Sosial Emosional Anak Usia Dini. Peran
orang tua dalam pendidikan anak secara tidak langsung memberi kesan yang
positif terhadap perkembangan anak-anak, diantaranya sikap bersungguh-sungguh
dalam aktivitas pembelajaran disamping menunjukan tingkah laku yang lebih baik
dan seimbang. Menurut Jeffrey Glanz Parenting secara langsung dan tidak
langsung akan memberikan kesan yang positif terhadap perkembangan anak
prasekolah karena mereka merupakan pendidik dirumah. Antara peran yang
dimainkan oleh orang tua adalah sebagai berikut:
1. Menyumbangkan
keahlian atau sebagai rujukan
Anak-anak
mempunyai minat ingin tahu (curiosity) yang tinggi, suka menerka dan mencoba,
bereksperimen dan menyelesaikan masalah serta kemampuan memfokuskan perhatian
dalam menerka sesuatu pengalaman pembelajaran.Situasi ini memerlukan peran
orang tua untuk menerangkan dan menjawab setiap persoalan yang ditanya oleh
anak mereka.Orang tua merupakan tempat rujukan selain guru, contoh kepakaran
yang dilakukan oleh orang tua membantu dalam aktivitas pembelajaran seperti
bercerita, menyanyi serta menggunakan komputer.Orang tua perlu menerangkan
dengan lancar secara terus menerus dari objek seperti komputer.
2. Memberi
sumbangan tenaga dan bahan
Keterlibatan
orang tua dalam pendidikan anak usia dini juga perlu menyediakan alat bantu
pengajaran dan pembelajaran seperti menyediakan buku bergambar serta alat
tulis. Dengan bahan yang ada orang tua perlu menyumbang tenaga untuk mengajar
mereka dengan cara yang berbeda dari guru di sekolah. Orang tua mempunyai cara
tersendiri untuk mengajar anak mereka jika mereka nyaman dengan pendekatan yang
hendak diajar[10].
Beberapa Faktor yang perlu dikembangkan
orang tua dalam kaitannya dengan kecerdasaan emosional anak yaitu:[11]
1. Melatih
anak untuk mengenali emosi diri
Mengenali
emosi diri merupakan dasar dari kemampuan kecerdasan emosional. Dalam psikologi
hal tersebut dikenal dengan Metamood
yakni kesadaran sesorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer kewaspadaan
terhadap sesuatu hati atau pikiran tentang suasana hati jika tidak dilatih maka
akan mudah sekali membawa seseorang kedalam aliran emosi yang dikuasi oleh
emosi. Adanya kesadaran diri tidaklah menjamin penguasaan emosi, tetapi
merupakan salah satu persyaratan penting untuk mengendalikan emosi sehingga
individu dapat dengan mudah menguasi emosinya.
2. Melatih
anak untuk mengelola emosi
Mengelola
emosi merupakan kemampuan individu untuk menangai perasaan agar dapat terungkap
dengan tepat atau selaras sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu,
menjaga agar emosi yang merisaukan terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan
emosi.
3. Melatih
anak memotivasi diri sendiri
Dengan
dimilikinya motivasi dalam diri individu berarti memiliki ketekunan untuk
menahan diri mengendalikan dorongan hati serta mampunyai perasaan motovasi yang
positif yaitu: Antusiasme dan optimis.
4. Melatih
anak untuk mengenali emosi orang lain
Kemampuan
untuk mengenal emosi orang lain disebut juga empati, menurut Goleman kemampuan
sesorang untuk mengenali orang lain atau pribadi merupakan kemampuan empati
seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan sehingga ia memiliki kemampuan menerima sudut pandang orang lain.
Peka terhadap perasaan orang lain dan memiliki kemampuan untuk mendengarkan
orang lain.
Dalam
upaya melindungi keselamatan anak,
Pembinaan-pembinaan perlu dilakukan oleh orang tua agar
kehidupan anak
lebih sempurna sesuai dengan perkembangan,
adapun pembinaan tersebut
antara lain sebagai berikut:
a. Membina
Pribadi Anak
Orang
tua adalah pembinaan pribadi yang pertama dalam hidup anak kepribadian orang
tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara
tidak langsung akan masuk kedalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Banyak pula
pengalaman-pengalaman anak, yang mempengaruhi nilai pendidikan, yaitu
pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan orang tua terhadap anak, penanaman sikap anak terhadap
guru agama. Pendidikan agama yang diajarkan
orang tua kepada anak di rumah akan sangat mempengaruhi sikap anak disekolahan dan
guru agama khususnya juga berpengaruh
pada anak.
Jadi pendidikan agama di rumah, lingkungan maupun disekolah sangat berpengaruh
pada kepribadian anak untuk kedepannya.
b. Membentuk
kebiasaan
Latihan-latihan
keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti sembahyang, doa, membaca al-quran
atau menghafal surat pendek, shlat berjamaah disekolah dan dimasjid harus
dibiasakan sejak kecil, sehingga lambat laun akan tumbuh rasa senang melakukan
ibadah tersebut. Anak dibiasakan sedemikan rupa, sehingga dengan sendirinya
akan terdorong untuk melakukannya tanpa suruhan dari luar.
Dengan
begitu pembiasaan
dalam pendidikan anak usia dini sangat
penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya,
karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur positif
dalam pribadi yang sedang tumbuh. Pengalaman
agama yang didapatnya semakin banyak
melalui pembiasaan itu, maka akan
semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa pendidikan
pembiasaan itu sangatlah
penting dalam mendidik karakter
anak, terutama dalam pendidikan agama.
Tanggung
jawab orang tua terhadap anak dapat diringkaskan seperti berikut:
1.
Mengasuh, yaitu
menediakan keperluan dasar, termasuk memberikan makanan, pakaian, teman tinggal
dan menjaga kesehatan fisik dan mental anak dengan baik.
2.
Berinteraksi, yaitu respon orang tua kepada anaknya dan mempunyai hubungan
baik terhadap anak dan orang tua.
3.
Mensosialisasikan,
yaitu memberikan anak kemahiran sosial untuk berinteraksi dengan anggota
masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, keturunan, agama, dan sebagainya.
4.
Memberi pendidikan anak, dimulai dengan pendidikan
tidak formal atau di
rumah selanjutnya dilanjutkan dengan
dengan pendidikan formal[12].
Kesimpulan
Dari kesimpulan kelompok kami STPPA (Standar
Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak) adalah kriteria
tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh aspek perkembangan dan
pertumbuhan yang mencakup aspek fisik-motorik, kognitif, bahasa,
sosial-emosional, nilai agama dan moral, serta seni. Tingkat
pencapaian perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dari umur 0 bulan
sampai 6 tahun. Dan Peran orang tua dalam perkembangan
sosial dan emosional memegang kedudukan yang sangat penting, karena orang tua
adalah model bagi anak. Fase
anak adalah fase dimana seorang anak suka meniru yang paling sering ditiru
adalah orang tuanya dikarenakan orang tua adalah mitra terdekat bagi anak.
DAFTAR PUSTKA
Ahmadi Abu, Psikologi Sosial,Jakarta:
Rineka Cipta, 2007.
Gottman John
dan Joan Declaire, Kiat-Kiat Membesarkan
Anak Yang Memiliki Kecerdasan Emosional,Jakarta: PT Gramedia, 2012.
Hayati Fitriah dan Nordin Mamat, “Pengasuhan dan
Peran Orang Tua (Parenting) serta Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Sosial
Emosional Anak di PAUD Banda Aceh, Indonesia”, ISSN 2355-102X, Volume I Nomor
1. September 2014.
Meriyati, “Peran orang tua dalam mengembangkan kecerdasan
anak”
Muthmainnah Dan Umi Musaropah, “Pengembangan
Kecerdasan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui Kegiatan Sentra”, Sekolah
Tinggi Agama Islam Yogyakarta.
Peran Orang tua dalam mengembangkan kecerdasan anak, IAIN
Raden Intan Lampung.
RestitiMuhalifah Yumi, “Peranan Orang Tua
Terhadap Perkembangan Sosial Emosional
Anak Kelompok B Di Tk Pertiwi 1 Sine Sragen Tahun Ajaran 2011/2012”, Pendidikan
Anak Usia Dini Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Zulkifli,
Psikologi Perkembangan, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
[6]Fitriah
Hayati dan Nordin Mamat, “Pengasuhan dan Peran Orang Tua (Parenting) serta
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak di PAUD Banda Aceh,
Indonesia”, ISSN
2355-102X, Volume I Nomor 1.September 2014, h.22.
[8]Peran Orang tua dalam mengembangkan kecerdasan
anak, IAIN Raden Intan Lampung. Hlm.4
[10] Fitriah Hayati & Nordin Mamat, Pengasuhan dan Orang Tua (Parenting) Serta Pengaruhnya Terhadap
Perkembanagn Sosial Emosional Anak di PAUD Banda Aceh, Indonesia, (Volume 1
Nomor 1, September 2014), hlm 22-23
[11]Meriyati, “Peran orang tua dalam mengembangkan
kecerdasan anak”. Hlm, 5-8
[12] Fitriah Hayati & Nordin Mamat, Pengasuhan dan Orang Tua (Parenting) Serta Pengaruhnya Terhadap
Perkembanagn Sosial Emosional Anak di PAUD Banda Aceh, Indonesia, (Volume 1
Nomor 1, September 2014), hlm 19-23
Komentar
Posting Komentar