STRES PADA GURU DAN PERILAKU SISWA DI KELAS PAUD
A.
Stres
pada Guru
Tugas utama guru adalah melaksanakan
proses pendidikan dan pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas. Guru
menghadapi prilaku siswa yang terkadang melahirkan problema psikologis baginya.
Ada siswa yang santun, adapula siswa yang nakal atau bandel. Diperlukan
pendekatan yang berbeda yang dapat diadaptasi oleh guru jika dihadapkan dengan
sikap murid yang kurang baik.
Dalam Applied Psychology Research Group
(1989) disebutkan bahwa jika guru masih ragu-ragu apakah dia menderita stress
atau tidak, lihat pada daftar dibawah mengenai gejala umum stres[1]:
1. Kelelahan
dan kekurangan tenaga.
2. Selalu
dalam keadaan tegang dan cepat naik darah.
3. Sakit
tenggorokan, batuk, dan flu.
4. Sebengkakan
dan nyeri sendi dan otot.
5. Rasa
sakit di dada, punggung, dan perut.
6. Susah
bernafas.
7. Diare
atau sebaliknya susah buang air besar.
8. Gairah
seks menurun.
9. Sakit
kepala.
10. Depresi.
11. Mual-mual.
12. Pusing.
Beberapa guru mampu menjaga kestabilan
dikelas, namun merasa bahwa banyak sekali waktu yang terbuang dalam menerapkan
disiplin kelas tersebut. Beberapa guru berhasil menerapkan disiplin ketat pada
sikap siswa. Tapi, untuk mencapai keadaan seperti itu guru-guru harus bersikap
kurang menyenangkan terhadap siswa. Misalnya, bersikap kasar, kehilangan
kesabaran, dan berteriak. Faktor-faktor yang jadi penyebab utama guru-guru
stres adalah sikap tidak layak dari siswa yang sering kali diulangi, misalnya,
siswa berbicara pada saat yang tidak tepat, berjalan atau bergerak tanpa izin
atau membuat keributan[2].
B.
Dari
otoriter ke Demokratis
Hubungan yang demokratis antara guru
dengan siswa menjadi dambaan, meski tidak selalu bisa. Adakalanya guru harus
bertindak tegas, meski sering ditafsirkan otoriter oleh siswanya. Ini merupakan
resiko kerja bagi guru. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan aturan
di sekolah sekarang ini tidak begitu otoriter jika di bandingkan dengan
kegiatan yang sama pada lima puluh tahun yang lalu.
Ada baiknya bila guru-guru mengevaluasi
kembali hak-hak siswa dan sebagai akibat bersikap lebih demokratis, atau
seperti yang dikatakan oleh Balson(1992). Guru-guru mengatakan hal-hal sebagai
berikut bahwa: “ siswa mengetahui hak-hak mereka dan mereka tidak mau
diperintah serta selalu bertanya secara rinci tentang segala sesuatu.”
Guru-guru sedang mencari teknik untuk menguasai teknik-teknik yang dapat di
implementasikan pada kehidupan nyata. Mereka tertarik pada teknik-teknik tegas
atau yang lebih lunak. Jika guru-guru bernegosiasi dengan murid atau memberi
hukuman siswa agar tetap disiplin, guru-guru akan melakukannya. Guru-guru akan
mengijinkan siswanya untuk bersuara lebih banyak dalam mengambil kebijakan
dalam aturan kelas atau jika harus memberi sogokan kepada siswa, guru-guru akan
melakukannya. Mereka menunjukan
kecenderungan untuk mengadopsi proses demokratisasi tersebut, tetapi
pada kenyataannya untuk kepentingan otoriterisme. Tindakan guru yang otoriter
memang di larang, namun ketegasan mutlak perlu, meski banyak siswa yang tidak
bisa membedakannya[3].
C.
Disiplin yang Demokratis
Berdasarkan pemahaman secara umum tidak
satupun nilai yang secara implisit disebutkan mengenai ketiga pendekatan
disiplin tidak diterima komunitas sekolah masyarakat barat yang demokratis.
Dilema kedisiplinan muncul berdasarkan pemikiran guru bahwa mereka memerlukan
sebuah pemahaman, tujuan, dan teknik dari beragam pendekatan terhadap disiplin
kelas. Mereka dapat memilih sesuatu pendekatan tertentu atau beberapa
pendekatan dan teknik dari satu atau beberapa pendekatan. Pemilihan yang
dilakukan sangat bergantung pada kepribadian guru, murid tertentu, waktu,
tempat, dan sebagainya. Hal ini juga berhubungan dengan adanya kesadaran
mengenai ragam disiplin yang mengajarkan nilai-nilai hidup siswa mengenai siapa
yang harus bertanggung jawab untuk menentukan sikap yang diterima dalam kelas
atau siapa yang bertanggung jawab untuk memonitor apakah siswa telah bersikap
atau bertindak secara pantas.
Beberapa penilitian yang mengindikasikan
bahwa mereka kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk ikut mengambil
keputusan dalam proses belajar mengajar sewaktu siswa beranjak lebih dewasa.
Alasan kedua adalah timbulnya kemungkinan sebuah skenario dimana orang tua
menentang atau menyetujui/menyarankan model disiplin tertentu karena mereka
menyadari akan pentingnya interksi kelas dalam mempengaruhi nilai-nilai siswa.
Adapun teorinya, siklus interaksi antara
guru dan siswa yang dapat membantu menerangkan tentang beberapa masalah
disiplin kelas yang membuat banyak guru merasa risau. Bentuk interaksi dapat
dijelaskan dengan melihat dua cara yang umum dilakukan guru terhadap sikap
tidak layak dari siswa dalam kelas. Cara semacam ini disebut respon “lebih
halus dari yang diharapkan” dan respon “lebih keras yang diharapkan.” Guru harus sabar, tidak cepat menyerah.
Perilaku semacam ini harus dia tampilkan secara taat asas, tentu dengan segala
dinamikanya.
Guru percaya bahwa penting bagi siswa
untuk membuat keputusan sendiri sehingga mereka tidak belajar untuk
menggantungkan diri kepada seseorang memberitahu apa yang layak dikerjakan dan
tidak layak dikerjakan, mana yang benar dan yang salah. Guru semacam ini
berbicara tentang kepatuhan yang ‘buta’ semacam kepatuhan yang dilakukan siswa
hanya karena mereka diperintahkan begitu tanpa kemampuan atau keinginan
berpikir tentang apakah mereka harus mematuhinya. Untuk menghindari
pengembangan respon kepatuhan buta, guru ingin mendorong siswanya agar
memutuskan sendiri bagaimana mereka akan bersikap. Tetapi guru tidak tahu cara
mengatasi kebutuhannya tanpa mengambil jalan seperti disiplin yang diterimanya
saat dia kecil dari orang tuanya dan guru-gurunya yang keras dan bergantung
pada penggunaan hukuman. Mereka percaya bahwa kecenderungan pendidikan
sekarang, berdasarkan asumsi tentang perkembangan anak, menyarankan bahwa
anak-anak harus mengembangkan kontrol mereka sendiri, dan mengatakan pada
mereka apa yang harus dilakukan akan membahayakan diri mereka sendiri dalam
jangka panjang.
Sebaliknya, banyak guru yang akan merasa
bahagia menggunakan hukuman yang ada dasarnya dan pujian, hadiah, baik dari
orang tua maupun guru namun mereka cenderung percaya bahwa kecenderungan masa
kini jauh dari hubungan otoriter masa lampau dimana siswa tampak dan tidak
mendengar. Mereka berpikir siswa masa kini meminta haknya tidak menjadi masalah
apakah mereka mengambil ide tersebut dari sekolah dan tidak akan melakukan
begitu saja apa yang diperintahkan sebagaimana yang dilakukan siswa dahulu[4].
D.
Guru
Bertindak Keras
Ada guru yang sukses, ada pula yang
gagal dalam mendisiplinkan siswa. Secara kontras, banyak guru yang sukses
menangani sikap siswa yang tidak layak dengan menggunakan tekhnik kekuasaan
yang pernah mereka alami sendiri sebagai anak-anak. Namun, selain dari sukses
mereka, guru semacam ini mendapati dirinya berada dalam dilema karena merasa
tekhnik tersebut terlalu keras dan cenderung mengahalangi siswa untuk
bertanggung jawab terhadap sikap mereka. Mereka tidak mengetahui metode
manajemen kelas lainnya sehingga tetap menggunakan teknik yang lebih keras dari
yang seharusnya dilakukan.
Ada tipe guru lainnya yang juga terlibat
dalam merespon lebih keras dari yang diharapkan. Secara paradoks guru yang pada
awalnya menggunakan pendekatan lebih halus dari yang diharapkan terhadap sikap
siswa, sering kali frustasi. Akhirnya frustasi ini berubah menjadi kemarahan
dan kebencian yang tidak dapat diekspresikan. Mereka mengkomunikasikan
kejengkelannya melalui tekhnik yang sangat efektif tetapi juga dapat merusak.
Mereka menggunakan kata-kata makian yang kasar, mereka juga menangani siswa
dengan cara fisik yang kasar[5].
E.
Kefrustasian
Guru
Watak frustasi yang dialami guru
berkenaan dengan sikap tidak layak dari menghasilkan reaksi yang lebih keras
dari yang diharapkan. Sebagai hasilnya, guru-guru ini mengetahui bahwa teknik
yang mereka gunakan efektif, tetapi akan menghancurkan kejiwaan siswa. Cara
yang berguna dalam membandingkan seluruh sikap yang ditunjukkan guru sat
merespon sikap tidak layak dari siswa adalah dengan menempatkannya dalam sebuah
rangkaian.
Pendekatan yang dapat digunakan dalam
menghadapi siswa yaitu penedekatan model
pengaruh. Pendekatan ini berpusat pada siswa dan terdiri dari teknik yang
didesain untuk memberikan fasilitas pelatihan pengendalian pada siswa.
Pendekatan yang kedua, pendekatan model
manajmen, pendekatan ini bertujuan mengatur kelompok dengan cara tertentu
shingga kelompok itu sendiri mampu mengatur diri sendiri. Pendekatan yang
terakhir yaitu pendekatan model pengawasan. Pendekatan ini melibatkan campur
tangan guru yang berkuasa yang mngharapkan kepatuhan siswa.
Sangat penting menghindari salah
pengertian. Menggunakan pendekatan berorientasi pada siswa tidak berarti
menjadi lemah atau terdesak oleh siswa. Pendekatan beorientasi pada guru bukan
juga termasuk melawan atau mencoba melukai siswa secara fisik atau mental[6].
F.
Respon
atas Sikap
Dalam menggambarkan apa yang akan
dilakukan atau tidak dilakukan perlu pemahaman yang dapat membedakan antara
keengganan atau ketidakmampuan siswa untuk menyesuaikan diri dengan kegiatan di
sekolah. Untuk dapat memecahkan masalah ini guru-guru harus meggunakan
pendekatan yang bervariasi, yaitu mulai dari latihan kontrol terhadap sikap
siswa sampai pendekatan konseling.
Penjelasan kedua dilaksanakan
berdasarkan keyakinan bahwa kurangnya kepatuhan anak merupakan ungkapan
perasaan yang sejati dan dapat dibenarkan tentang ketidakpuasan siswa terhadap
institusi pendidikan yang gagal dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa yang
menjadi hak mereka. Dalam kenyataan, sumber informasi antara guru dan siswa
sangat diperlukan. Walaupun demikian, keinginan untuk melaksanakan disiplin
dalam kelas adalah dengan jalan mengajar dengan baik, dimana guru mengasumsikan
pada waktu-waktu tertentu dia tidak mempunyai waktu, sumber, kecenderungan
untuk memodifikasi kurikulum[7].
Tipe-tipe Sikap Siswa
Di
kelas, khususnya pada rombongan belajar yang besar, guru menghadapi siswa
dengan beragam sikapnya. Sikap tidak layak dari siswa yang lazim dikenal oleh
semua guru dibagi menjadi tiga kategori yang saling berhubungan. Beberapa
contoh dari pengalaman mengajar guru menggambarkan setiap kategori tersebut.
Anto
siswa kelas 9 yang sangat ceroboh dan pelupa. Dia sering kali masuk kelas tanpa
membawa buku teks, pekerjaan rumah, dan dalam banyak kesempatan tanpa membawa
buku catatan dan kotak pensilnya. Pada saat seperti ini kemampuan Anto untuk belajar
tanpa benar-benar terganggu.
Fitri,
di pihak lain, merupakan ‘badut kelas’ di kelas 7. Dia sering kali berteriak
memanggil temannya, terjatuh dari kursi, tersandung tas, mengambil peralatan
tulis menulis, merusak barang-barang pribadi milik temnnya, dan sebagainya.
Kehadiran Fitri di dalm kelas merupakan gangguan besar bagi teman-teman
sekelasnya.
Bondan
merupakan masalah yang lain daripada yang lain. Membuatnya berhenti mengobrol
dengan Iwan, temannya, dan menyuruh kosentrasi pada pekerjaannya, guru
pertama-tama memintanya tenng. Tetapi, jika dia terus saja berbicara dengan
Iwan, guru mendekatinya dan menyuruhnya untuk duduk di tempat lain. Dia mungkin
berdiri dan mengatakan sesuatu seperti guru selalu memilih/menyuruhnya. Guru
tidak akan pindah dan dia tidak akan bisa memaksanya. Guru brengsek! Sikap
Bondan mungkin dapat dimengerti, tetapi tidak dapat diterima sehingga
membuat/menantang kekuasaan guru dengan cara yang tidak perlu dan tidak
terhormat[8].
Kesimpulan
Tugas
utama guru adalah melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran, baik di
kelas maupun di luar kelas. Guru menghadapi prilaku siswa yang terkadang
melahirkan problema psikologis baginya. Ada siswa yang santun, adapula siswa
yang nakal atau bandel. Diperlukan pendekatan yang berbeda yang dapat
diadaptasi oleh guru jika dihadapkan dengan sikap murid yang kurang baik.
Beberapa guru mampu menjaga kestabilan dikelas, namun merasa bahwa banyak
sekali waktu yang terbuang dalam menerapkan disiplin kelas tersebut. Beberapa
guru berhasil menerapkan disiplin ketat pada sikap siswa. Tapi, untuk mencapai
keadaan seperti itu guru-guru harus bersikap kurang menyenangkan terhadap siswa
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Komentar
Posting Komentar